Minggu, 22 Mei 2011

Pendidikan Tak Sentuh Dunia Nyata Picu Remaja ML

JAKARTA- Maraknya fenomena making love (ML) di kalangan remaja seperti terungkap dalam hasil survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) tak lepas dari ketidakberdayaan dunia pendidikan menjadikan anak didik agar siap menghadapi dunia nyata.

Pengamat Pendidikan Universitas Indonesia (UI) Hanief Gafur menyatakan kurikulum pendidikan Indonesia baru menyentuh wilayah pembelajaran, agar peserta didik mampu bersaing di masa depan.

Sementara wilayah pendewasaan dan pembiasaaan sama sekali belum tersentuh. Bahkan cenderung diabaikan. Pendewasaan dalam arti bagaimana anak dibina agar siap menghadapi segala hal yang akan ditemuinya di luar ruang kelas.

“Sejauh ini pendidikan di Indonesia hanya sampai pada tahap pembelajaran saja. Tak heran mereka masih menganggap hal-hal seperti seks tidak pantas dibicarakan. Padahal itu merupakan suatu yang penting untuk diberitahukan,” ungkapnya kepada okezone di Jakarta, Senin (10/5/2010).

Persoalan ini, lanjut Hanief disinyalir sebagai akar persoalan di dunia pendidikan selama ini. Di antaranya siswa menjual diri karena himpitan ekonomi, prilaku seks bebas di antara sesama pelajar, serta bentuk kenakalan-kenakalan remaja lain.“Pendewasaan dan pembiasaan tidak menyatu dalam pendidikan. Pendidikan jangan dilokalisir,” tegasnya.

Apalagi, lanjut dia, teknologi berkembang dengan pesat, sehingga anak-anak semakin bebas untuk mencari tahu apa yang ingin mereka ketahui. Dengan tidak didapatnya pengetahuan seks di sekolah, maka anak akan mencari tahu sendiri.

Dalam kaitan ini, Hanief menegaskan peran penting orangtua dan para pendidik dalam memantau fase tumbuh dan berkembangnya anak dan remaja. Dia menyebutkan, ada tiga fase tumbuh kembangnya anak. Yaitu fase kebebasan dalam melakukan apapun, fase permisif (keserbabolehan), dan fase hedonis (pemburu kenikmatan).

“Seorang anak apabila tidak ada yang melarang maka akan merasa bebas, karena menurut dia tidak ada aturan. Lalu akan beranjak ke permisif dengan hilangnya secara perlahan-lahan aturan aturan yang ada, itu menunjukan bahwa semua yang dia lakukan adalah wajar dan boleh, melonggarnya nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan. Terlebih lagi anak itu hedonis atau pemburu kenikmatan,” terangnya.

Hasil survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar mengungkapkan bahwa 97 persen remaja pernah menonton atau mengakses pornografi, 93 persen pernah berciuman bibir. Sedangkan 62,7 persen pernah berhubungan badan dan 21 persen remaja telah melakukan aborsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar