Minggu, 22 Mei 2011

Etos Pendidikan Entrepreneurship

TUJUAN dari pendidikan adalah memanusiakan manusia. Di dalam tujuannya terdapat proses dialogis yang membebaskan. Tidak ada kata penyeragaman dalam tataran praksisnya.

Sehingga, ketika kita dihadapkan persoalan hidup,kita mampu menyelesaikannya dengan cermat. Tetapi hal yang seperti itu sudah mulai tercabut dari sistem pendidikan di Indonesia. Metode bagi para peserta didik dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi masih terpaku pada metode hafalan bukan metode hadap masalah. Sehingga mereka tidak sempat berpikir di luar hal tersebut yang menyangkut langsung ke dalam kehidupan nyatanya.

Akibatnya banyak dari mereka yang gagap dalam menjawab persoalan hidup. Hal ini tentu menjadi bahaya besar bila terjadi pada kalangan terdidik, sumber daya manusia yang seharusnya mampu menjadi roda penggerak kemajuan bangsa. Berdasarkan data yang dirilis oleh Survei Angkatan Kerja Nasional 2009, tahun lalu saja angka pengangguran terdidik menembus 1 juta orang.

Mengingat bahwa sistem pendidikan yang jamak dilakukan di perguruan tinggi hingga kini masih tetap sama seperti tahun lalu. Maka tidak menutup kemungkinan angka tersebut akan mengalami kenaikan pada tahun ini. Kurikulum entrepreneurship yang digadang-gadang bakal ampuh menjawab persoalan hidup nampaknya tidak memberikan dampak yang berarti. Pasalnya konsep pendidikan entrepreneurshipdi kebanyakan perguruan tinggi hanya sebatas pada sistem kredit semester (SKS).

Dengan dua atau empat SKS mahasiswa dianggap sudah mampu ber-entrepreneur.Menyempitkan entrepreneurship dalam sebuah muatan materi tentu hal yang salah. Padahal bila ditelisik lebih jauh entreperenuership adalah bukan kata tanpa makna apalagi sebatas materi. Entreperenuership adalah etos. Semangat tak kenal lelah dalam menjawab persoalan hidup yang mendatangkan kemakmuran bagi dirinya dan orang lain.

Keberhasilan pendidikan entreperenuership tidak diukur oleh banyaknya mahasiswa yang telah lulus SKS tetapi lebih diukur dari dampaknya terhadap sosial-ekonomi dari usaha yang dilakukan. Isu tersebut kemudian dapat diperluas dengan banyaknya lapangan kerja, jumlah tenaga kerja yang bisa terserap, serta potensinya bagi pertumbuhan ekonomi negara.Yang terpenting sumber daya alam yang selama ini dikelola oleh pihak asing harus dikelola secara mandiri.

Penduduk lokal harus diberdayakan,dikuatkan dalam hal kependidikannya. Dus, pendidikan yang memerdekakan dan mengasah kemampuan peserta didik untuk menemukan atau bahkan menciptakan peluang di sekitarnya itulah real entrepreneur. Karena seorang entrepreneur harus mampu melihat permasalahan di masyarakat.

Artinya harus mempunyai pemikiran kritis dan daya eksplorasi terhadap lingkungan sekitar.Karena memang sistem pendidikan haruslah seperti ini. Mengutamakan kemampuan peserta didik dalam memaknai dan menggunakan pengetahuan walaupun sesederhana apa pun pengetahuan itu. (*)

Pendidikan Tak Sentuh Dunia Nyata Picu Remaja ML

JAKARTA- Maraknya fenomena making love (ML) di kalangan remaja seperti terungkap dalam hasil survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) tak lepas dari ketidakberdayaan dunia pendidikan menjadikan anak didik agar siap menghadapi dunia nyata.

Pengamat Pendidikan Universitas Indonesia (UI) Hanief Gafur menyatakan kurikulum pendidikan Indonesia baru menyentuh wilayah pembelajaran, agar peserta didik mampu bersaing di masa depan.

Sementara wilayah pendewasaan dan pembiasaaan sama sekali belum tersentuh. Bahkan cenderung diabaikan. Pendewasaan dalam arti bagaimana anak dibina agar siap menghadapi segala hal yang akan ditemuinya di luar ruang kelas.

“Sejauh ini pendidikan di Indonesia hanya sampai pada tahap pembelajaran saja. Tak heran mereka masih menganggap hal-hal seperti seks tidak pantas dibicarakan. Padahal itu merupakan suatu yang penting untuk diberitahukan,” ungkapnya kepada okezone di Jakarta, Senin (10/5/2010).

Persoalan ini, lanjut Hanief disinyalir sebagai akar persoalan di dunia pendidikan selama ini. Di antaranya siswa menjual diri karena himpitan ekonomi, prilaku seks bebas di antara sesama pelajar, serta bentuk kenakalan-kenakalan remaja lain.“Pendewasaan dan pembiasaan tidak menyatu dalam pendidikan. Pendidikan jangan dilokalisir,” tegasnya.

Apalagi, lanjut dia, teknologi berkembang dengan pesat, sehingga anak-anak semakin bebas untuk mencari tahu apa yang ingin mereka ketahui. Dengan tidak didapatnya pengetahuan seks di sekolah, maka anak akan mencari tahu sendiri.

Dalam kaitan ini, Hanief menegaskan peran penting orangtua dan para pendidik dalam memantau fase tumbuh dan berkembangnya anak dan remaja. Dia menyebutkan, ada tiga fase tumbuh kembangnya anak. Yaitu fase kebebasan dalam melakukan apapun, fase permisif (keserbabolehan), dan fase hedonis (pemburu kenikmatan).

“Seorang anak apabila tidak ada yang melarang maka akan merasa bebas, karena menurut dia tidak ada aturan. Lalu akan beranjak ke permisif dengan hilangnya secara perlahan-lahan aturan aturan yang ada, itu menunjukan bahwa semua yang dia lakukan adalah wajar dan boleh, melonggarnya nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan. Terlebih lagi anak itu hedonis atau pemburu kenikmatan,” terangnya.

Hasil survei Komisi Perlindungan Anak (KPA) terhadap 4.500 remaja di 12 kota besar mengungkapkan bahwa 97 persen remaja pernah menonton atau mengakses pornografi, 93 persen pernah berciuman bibir. Sedangkan 62,7 persen pernah berhubungan badan dan 21 persen remaja telah melakukan aborsi.

Industri Pendidikan

ENTAH kenapa pendidikan dianggap mulia, bahkan sakral. Maka istilah bisnis, apalagi industri pendidikan, dianggap tabu yang mencemarkan citra kemuliaan pendidikan.

Pandangan memuliakan pendidikan itu benar apabila yang dimaksud adalah pendidikan yang diberikan orang tua kepada anaknya. Sebab, pendidikan seperti ini lazimnya dilakukan tulus ikhlas tanpa memungut biaya sesen pun. Namun pandangan memuliakan pendidikan itu keliru, bahkan munafik, apabila yang dimaksud pendidikan adalah pengajaran yang diberikan guru atau lembaga pendidikan kepada para muridnya; apabila para murid, orangtua atau walimurid harus membayar biaya, meski cuma sesen, apalagi jutaan rupiah.

Munafik mengaku pemungutan biaya pendidikan, meski berkedok istilah sumbangan gedung, biaya seragam, atau apa pun sebagai bukan bisnis, apalagi industri! Selama ada transaksi jual beli, jelas yang dilakukan adalah bisnis atau dalam skala lebih massal disebut industri. Maka selama murid harus membayar jasa guru atau lembaga yang memberikan pendidikan sebenarnya istilah yang tidak munafik adalah bisnis atau industri pendidikan.

Ternyata yang keliru bukan cuma pengingkaran istilah saja, melainkan juga pengingkaran terhadap UUD negara dan bangsa Republik Indonesia tercinta! Sebenarnya di dalam UUD 1945 sudah tegas dan jelas hitam di atas putih, eksplisit tersurat, setiap warga bangsa dan negara Indonesia memiliki hak atas pendidikan. Pada kenyataannya, hak atas pendidikan itu sudah diabaikan,bahkan diingkari.

Ternyata setiap warga Indonesia bukan memiliki hak, melainkan malah kewajiban membayar pendidikan bagi dirinya masing-masing. Sungguh ironis. Di Jerman, negara dengan rakyat tidak miskin dan tidak berfalsafah Pancasila dengan asas kemanusiaan dan keadilan sosial, pendidikan malah total gratis dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi! Lebih celaka lagi ketika UU Pendidikan Nasional sesuai UUD 1945 diupayakan untuk ditegakkan, malah berbagai pihak sengit menolak.

Mereka beralasan pendidikan gratis tidak realistis karena cuma kosmetik politis demi memikat suara rakyat, terutama di masa pemilu. Yang menolak pendidikan gratis adalah para penganut paham kapitalisme sejati atau mereka yang sudah telanjur menikmati nikmatnya berbisnis pendidikan tidak gratis.

Alasan utopia justru terbukti tidak realistis sebab pendidikan gratis di Jerman dan berbagai negara beradab di planet bumi ini terbukti bisa dijadikan kenyataan yang sangat nyata.Pendidikan gratis kalau memang mau, pasti mampu. Tetapi kalau memang tidak mau yapasti tidak mampu! Di Indonesia sudah terbukti, kalau mau para politisi mampu memenuhi janji menggratiskan pendidikan di wilayah kekuasaan masing-masing.

Dipelopori para penerima anugerah Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) seperti Bupati Jembrana yang berhasil nyata menggratiskan pendidikan tanpa mengurangi, bahkan meningkatkan, mutu pendidikan di daerah Kabupaten Jembrana sejak 2000. Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) terbukti mampu menepati janji kampanye menggratiskan pendidikan di Provinsi Sumsel pada 2009!

Kalau mau, pasti mampu! Ada pula contoh, meski mau, tapi ternyata tidak mampu, atau lebih tepatnya tidak boleh. Bupati Banyuwangi sempat gagal menepati janji-janji kampanye untuk menggratiskan pendidikan akibat ditentang habis-habisan oleh DPRD Banyuwangi.

Mayoritas anggotanya lebih berpihak kepada mereka yang sudah telanjur mengenyam nikmatnya berbisnis pendidikan ketimbang berpihak ke rakyat yang terus-menerus diperah dan diperas untuk membayar pendidikan!

Memang selalu ada yang lebih mengutamakan kepentingan kocek pribadi atau lembaga masing-masing ketimbang menjunjung tinggi Pancasila dan mematuhi UUD 1945; sambil murka apabila dituduh membisniskan atau mengindustrikan pendidikan.

Diduga Korupsi, Mantan Kadis Pendidikan Ditahan

BOGOR – Kejaksaan Negeri (Kejari) Cibinong, Jawa Barat menahan mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor Muhamad Lukman malam tadi. Lukman ditahan karena dugaan keterlibatannya dalam perkara korupsi pembangunan gedung SMA Negeri Ciomas, Jabar.

Selain menahan Lukman, Kejari juga menahan tiga tersangka lain yakni Acow, Camat Cibinong Rudi Gunawan dan mantan kepala desa Ciomas, Edi Sahrani. Keempat tersangka diduga terlibat dalam korupsi pengahdaan lahan seluas 2 hektar yang dimaksudkan untuk membangun SMA Negeri Ciomas.

Kasus dugaan korupsi ini berawal ketika Disdik Kabupaten Bogor akan membangun gedung SMA 1 di Kecamatan Ciomas. Dana disebutkan berasal dari APBD Pemkab Bogor TA 2007. Namun indikasi penyimpangan ada pada saat pembelian lahan seluas satu hektar.

Hasil penyelidikan Kejaksaan berdasarkan bukti-bukti laporan yang masuk, disinyalir kuat terjadi mark-up harga tanah. Akibat perbuatan tersangka, negara diduga mengalami kerugian hingga 2 miliar

bagaimana membangun karakter bangsa Indonesia dengan menggunakan Falsafah Pancasila ?

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :
· Lima dasar oleh muhamad yamin yang berpidato pada tanggal 29 mei 1945, merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di indonesia,
· Pancasila oleh soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 juni 1945 . Soekarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :
1. Rumusan pertama piagam jakarta tanggal 22 juni 1945
2. Rumusan kedua undang-undang dasar tanggal 18 agustus 1945
3. Rumusan ketiga mukkadimah konstitusi republik indonesia serikat tanggal 27 desember 1949
4. Rumusan keempat mukkadimah undang-undang dasar sementara tanggal 15 agustus 1950
5. Rumusan kelima rumusan kedua yang dijiwai oleh rumusan pertama merujuk dekrit presiden tanggal 5 juli 1959

Telah diketahui sedikit mengenai sejarah PANCASILA sebagai alat untuk membangun karakter bangsa indonesia sejak dahulu kala. Dengan pengetahuan mengenai PANCASILA yang sesungguhnya seharusnya menjadi kewajiban bagi seluruh masyarakat indonesia dengan mengamalkan dan menjalankan di kehidupan serta sebagai alat untuk membangun karakter bangsa
Dengan falsafah pancasila :
1. Ketuhanan yang maha esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia

Falsafah pancasila ini harus kita laksanakan di dalam kehidupan kita.jika Pendidikan yang kuat tentang falsafah pancasila dilaksanakan dengan sebenar benarnya maka bangsa indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat jauh dari penyimpangan-penyimpangan ekonomi, hukum,sosial dan lain sebagainya menjalankan hak yang semestinya didapat oleh masyarakat yang membutuhkan haknya sehingga haknya tidak dirampas oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Cara yang sebetulnya sangat mudah dijalankan dalam usaha membangun karakter bangsa denga falsafah pancasila yaitu dengan mengingat isi falsafah pancasila, memberikan pendidikan falsafah pancasila sejak sekolah dasar hingga dewasa . menjalankan falsafah pancasila dengan pendidikan yang benar serta kita sebagai individu juga harus berusaha membangun karakter individu yang benar dulu barulah kita bisa membangun karakter bangsa yang kuat dan didoron